KENDATI tingkat ketergantungan ekspor Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya berkisar 19,7%, mengingat kontribusi ekspor di waktu-waktu mendatang berpotensi membesar, tentu peluang ekspor ke mancanegara tidak bisa diabaikan begitu saja.
Bukan saja dari aktivitas ekspor dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth) serta memperkuat posisi cadangan devisa, tetapi juga dapat membuka lapangan kerja lebih luas {projobs) seiring meningkatnya permintaan barang-barang ekspor ke luar negeri yang makin beragam. Jutaan rakyat menggantungkan hidupnya dari kegiatan ekspor untuk peningkatan kesejahteraan mereka (pro-poor).
Ambil contoh China. Kemampuan negara Tirai Bambu ini mendulang cadangan devisa hingga mencapai US$2,4 triliun atau yang terbesar di dunia karena kekuatan negara ini dalam mendorong ekspor sehingga menjadi eksportir terbesar di dunia. Posisi kedua ditempati oleh Jepang, dengan US$960 miliar, juga karena ditopang oleh prestasi ekspornya.
Sebelumnya eksportir terbesar adalah Jerman. Seiring krisis keuangan global dan kini krisis ekonomi Yunani yang menjalar ke beberapa negara Eropa, Jerman mengalami kemunduran dalam aktivitas ekspornya. Sekarang negara ini lebih fokus pada pemulihan ekonomi dengan bertumpu pada kekuatan pasar domestiknya yang nahasnya cenderung melemah.
Aktivitas ekspor bergantung kepada kondisi perekonomian dunia. Ketika perekonomian dunia stabil atau menguat, tingkat permintaan ekspor pun menguat. Sebaliknya, ketika kondisi perekonomian dunia melemah seperti terjadi saat ini, tingkat permintaan ekspor merosot. Jika demikian kondisinya, orientasi berbagai negara untuk bertumpu kepada pasar domestik menjadi satu-satunya cara untuk tetap dapat menggairahkan perekonomian nasional.
Ekspor memang rentan terhadap situasi dan kondisi perekonomian global. Ketika krisis finansial melanda AS tahun 2008, posisi ekspor Indonesia kelimpungan karena negeri itu selama ini merupakan salah satu tujuan ekspor tradisional terbesar.
Banyak kesepakatan dagang yang terpaksa dibatalkan secara mendadak karena mitra dagang di Negeri Paman Sam kesulitan keuangan. Hal itu terutama terjadi pada komoditas tekstil dan produk tekstil (TPT), mebel, dan kerajinan kayu. Pada saat itu mulai terpikir untuk mengalihkan sasaran ekspor ke kawasan-kawasan yang selama ini belum tersentuh, misalnya Afrika, Timur Tengah dan Australia, sebagai tujuan ekspor yang baru.
Kini dengan adanya krisis Yunani yang menjalar ke beberapa negara lainnya sehingga berpotensi menjadi krisis Eropa, kembali menyadarkan pemerintah dan pelaku usaha nasional agar tak terlampau bergantung pada pasar-pasar tujuan ekspor tradisional atau konvensional.
Pasalnya, di samping AS, maka kawasan Eropa merupakan penyumbang nilai ekspor yang cukup signifikan. Memang sebagian eksportir mengaku belum merasakan dampak krisis Yunani. Apalagi negara tujuan ekspor yang terbesar masih ditempati AS, disusul Prancis, China, Inggris, dan Korea Selatan.
Meski demikian, pemerintah hendaknya terus berupaya mendorong para eksportir nasional untuk membuka pasar di negara-negara tujuan baru sembari berharap krisis keuang-an Eropa tidakberkepanjangan sehingga memengaruhi kinerja ekspor. Apabila ekspor terganggu, dampaknya akan menerpa ke seluruh aktivitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi melambat, proses penciptaan lapangan kerja baru terkendala, dan kesejahteraan masyarakat menurun.
Di samping itu, melalui berbagai upaya antara lain pencarian pasar-pasar baru secara agresif, penganekaragaman atau diversifikasi komoditas, dan intensifikasi pasar ekspor diyakini ekspor nasional akan terus tumbuh. Untuk mendorongnya, maka penyediaan berbagai fasilitas dan program, di antaranya meng-ikutsertakanpara pengusaha dalam pameran-pameran berskala internasional juga perlu dilakukan. Semakin intensif pengusaha eksportir nasional mengikuti berbagai pameran berskala internasional, semakin terbuka peluang bagi terjadinya transaksi internasional yang menguntungkan para pengusaha nasional.
Kegiatan perdagangan internasional memang dinamis. Banyak faktor memengaruhi dan situasinya selalu berubah. Para eksportir juga harus menyikapinya secara dinamis, baik dalam strategi maupun antisipasi. Alhasil, kreativitas dan inovasi, terutama terkait dengan kualitas produk, amat diperlukan dalam pengembangan ekspor.
Jadi bukan hanya bagaimana mencari dan membidik potensi pasar-pasar baru, melainkan juga berhubungan dengan komoditas-komoditas yang ditawarkan yang memiliki kualitas unggul. Tepat sekali kalau instansi terkait selalu mendorong para pengusaha ekspor agar maju dan berkembang.
Hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah penurunan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS menjadi peluang produk-produk Indonesia yang disukai pembeli luar negeri. Sebab, mereka menganggap produk Indonesia lebih murah. Meski demikian, penurunan nilai tukar mata uang bukan merupakan tujuan.
Kini dengan sinyal pemulihan ekonomi AS yang mulai menguat, sementara pasar Eropa mengalami gangguan, maka eksportir nasional masih dapat mengandalkan tujuan ekspor ke AS. Tahun ini pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan sudah positif. Tingkat permintaan perumahan, otomotif dan produk eceran (seperti home appliances) sudah mulai menguat. Angka pengangguran juga semakin menurun.
Di samping itu, Jepang sebagai negara tujuan ekspor terbesar kedua juga mulai menunjukkanperbaikan ekonomi setelah terjadi pergantian perdana menteri dan kabinet. Pergantian rezim pemerintahan selalu menciptakan optimisme baru yang berdampak pada prospek ekonomi yang membaik.
Perlu dicermati pula kebijakan beberapa negara seperti Australia, Korsel, China, dan India yang menaikkan suku bunga acuan (Australia, Korsel, China, India) yang mengindikasikan bahwa perekonomian negara-negara tersebut terus memanas sehingga perlu didinginkan melalui kebijakan suku bunga acuan.
Kebijakan itu juga memberikan sinyal bahwa pasar di negara-negara tersebut merupakan tujuan ekspor yang prospektif untuk barang-barang dari Indonesia. Ketika perekonomian tumbuh positif, tingkat konsumsi masyarakatnya akan terdongkrak. Negara-negara tersebut akan menjelma menjadi negara konsumer global (global consumers) yang siap mengonsumsi masuknya produk-produk dari luar negeri.
Sebagai catatan akhir, sejak Mei lalu hingga Oktober 2010 (selama enam bulan) sedang diadakan pameran internasional bertajuk World Expo 2010 di Shanghai, China di mana pemerintah Indonesia membuka stan bernama Pavillion Indonesia yang mengenalkan Indonesia dengan keragaman produk-produk heritnge-nya ke pengunjung yang mencapai jutaan orang setiap harinya.
Event internasional yang diikuti sekitar 190 negara di seluruh dunia ini bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan produk-produk buatan Indonesia kepada calon pembeli di luar negeri. Eivnt ini pun bisa dimanfaatkan untuk forum-forum pertemuan bisnis antara pengusaha Indonesia dan para calon mitranya dari luar negeri.
Bahkan apabila dimungkinkan, exent ini bisa dimanfaatkan oleh pengusaha nasional yang berminat untuk memulai penjajagan kontrak dagang dengan pembeli di luar negeri dengan cara melakukan one on one meeting yang terjadwal dengan baik sehingga dapat menjaring lebih banyak calon pembeli barang-barang buatan Inr donesia.
Sebaliknya, event ini juga bisa menjadi ajang pembelian bahan baku maupun bahan setengah jadi (baca barang-barang impor) dari China maupun negara-negara lain yang ikut berpameran dengan harga bersaing untuk memenuhi kebutuhan domestik di Indonesia. Pada akhirnya, kemampuan pengusaha nasional untuk membidik pasar ekspor yang belum stabil saat ini amat menentukan kesuksesan dalam menangguk proceed ekspor.
sumber : http://google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar